DAKWAH MODERAT KH. NOER ALIE

Oleh : Dr. Hj. Ade Naelul Huda, Lc, MA

Sebagai lembaga dakwah yang dibidani oleh Attaqwa, Rusydatul Ummah pun memiliki keinginan untuk menyelaraskan visi misi serta metode dakwahnya dengan Al-Maghfurlah KH. Noer Alie. KH. Noer Alie merupakan putra keempat dari pasangan H. Anwar Bin H. Layu dan ibu Hj. Maimunah Binti Tabin. KH. Noer  Alie lahir pada tahun 1914 di desa Ujung Malang (sekarang disebut Ujung Harapan). Setelah menimba ilmu dari berbagai ulama di Indonesia, pada usia 20 tahun yaitu pada tahun 1934, KH. Noer Alie melanjutkan pendidikannya ke kota Makkah dan menuntut ilmu selama 6 tahun. Sekembalinya KH. Noer Alie dari Mekkah al-Mukarramah, pada tahun 1940, KH. Noer Alie mulai merealisasikan cita citanya untuk membangun kampung syurga dan mengeluarkan masyarakat dari keterbelakangan yang mereka alami akibat minimnya pendidikan. Selain mendirikan madrasah, KH. Noer Alie juga aktif berdakwah dan memberikan pendidikan kepada masyarakat melalui pendidikan non formal. KH. Noer Alie menggelar pengajian kitab kuning yang semakin lama semakin banyak diminati. Sebagaimana kegiatan Pendidikan formal, Pendidikan non formal di Majelis Taklim ini pun terhenti karena KH. Noer Alie beserta murid-muridnya meninggalkan desa untuk bergabung dalam perang mengusir penjajah. Dalam perjuangan merebut kemerdekaan inilah KH. Noer Alie memimpin peperangan dan mendapat gelar “Singa Karawang Bekasi” karena keberaniannya di medan perang. Kyai Noer ‘Alie juga mendapat julukan “Si Belut Putih”. Julukan ini diberikan karena sulitnya tentara Belanda menangkap KH. Noer Alie[1]. Atas jasanya memimpin perang melawan penjajah KH. Noer Alie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

KH. Noer Alie

Setelah Indonesia Merdeka KH. Noer Alie mulai kembali membangun masyarakatnya baik melalui pendidikan formal, pendidikan non formal maupun pemberdayaan ekonomi melalui gerakan wakaf. Implementasi dari gerakan ini dapat dilihat dari struktur Yayasan Attaqwa yang terdiri dari bidang perguruan (mengelola pendidikan formal) Dewan Masjid Attaqwa (mengelola pendidikan non formal ) dan bidang Wakaf (pemberdayaan ekonomi). Pasca kemerdekaan KH. Noer Alie memimpin Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I) dibantu dan diwakili oleh beberapa orang kepercayaannya karena KH. Noer Alie aktif di organisasi Masyumi. Setelah Masyumi dibubarkan oleh Pemerintah Soekarno pada tahun 1960, Kyai Noer Alie mulai fokus membangun pesantren dan memimpinnya sendiri[2].

KH. Noer Alie dikenal sebagai ulama yang moderat dan luwes dalam berdakwah. Dalam cerita yang disampaikan Hj. Atiqoh Noer Alie, pernah suatu malam di bulan Ramadhan KH. Noer Alie marah sebab shalat tarawih kaum Ibu di Masjid Ghairu Jami’ Al-Baqiyatussholihat baru selesai jelang tengah malam karena jamaah diajak membaca Al-Quran setelah sholat Tarawih berjamaah, KH. Noer Alie menegur dan menasihati bahwa penduduk kampung saat siang hari di bulan Ramadhan sudah lelah mengolah sawah sehingga pada waktu malam mereka perlu beristirahat, sebab bekerja menurut pandangan KH. Noer Alie juga bagian dari ibadah.[3] Pandangan dan rasa empati KH. Noer Alie, serta sikap welas asih beliau dapat diterapkan oleh seluruh kader Rusydatul Ummah. Memahami kebutuhan masyarakat merupakan keahlian dasar yang harus dimiliki seorang daiyah dan kader Rusydatul Ummah sehingga materi dan model dakwah yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi, keadaan dan latar belakang mad’u (sasaran dakwah). KH. Noer Alie juga dikenal toleran dengan budaya dan adat masyarakat sekitar selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Budaya beribadah masyarakat seperti tahlilan, tasyakuran, peringatan nisfu Sya’ban, maulidan dan meninggalkan cap bid’ah menjadi salah satu bagian dakwah yang diajarkan oleh Al-Maghfurlah KH. Noer Alie.

Sikap moderat KH. Noer Alie juga dapat dilihat dalam buku yang dikarangnya yaitu “Nurul Hidayah li man Arada as-Sa’adah” KH. Noer Alie menyebutkan bahwa Allah swt menciptakan makhluk yang berbeda-beda termasuk pria dan wanita, kelompok ras dan bangsa untuk saling memahami dan tidak selayaknya membeda-bedakan satu sama lain. KH. Noer Alie berpandangan bahwa dalam hidup bersama dibutuhkan sikap toleransi untuk menjaga persatuan, bukan untuk menimbulkan perpecahan. Sikap mengenal dan memahami perbedaan satu sama lain adalah hal yang harus dimiliki setiap orang. [4]

Buku Nurul Hidayah li man araada as-Sa’adah juga menguraikan bahwa manusia memiliki nafsu yang juga merupakan anugerah dari Allah untuk mempertahankan diri dan kehormatan. Namun tindakan kekerasan harus dihindari dan nafsu harus dijaga dan dibimbing ke arah yang baik untuk kehidupan yang bahagia. Lebih jauh KH. Noer Alie juga menyebutkan bahwa seseorang yang ingin belajar harus mensucikan akalnya, menghilangkan sifat-sifat buruk, agar akalnya dapat dijadikan tempat ilmu. Jika hatinya bersih maka ilmu akan mudah masuk. Ketika manusia memiliki ilmu ia akan mampu mengatasi hawa nafsunya dan akan mengarahkannya pada perbuatan baik. Serta akan mampu mencegah segala bentuk keburukan, kekerasan dan kejahatan.[5]

Agama  merupakan  salah  satu  kebutuhan  dasar  manusia, kebutuhan  kepada  agama  bahkan  sama  besarnya  dengan kebutuhan  primer  lainnya  seperti  makan,  minum  dan mendapatkan  pasangan  hidup.  Salah  satu  ajaran  agama  Islam adalah agar pengikutnya senantiasa menjalin hubungan yang baik dan harmonis, baik dalam interaksinya kepada Allah Swt maupun relasinya  kepada sesama manusia  (hablumminallah  dan hablumminannas)[6].

Sebagai pendiri Attaqwa KH. Noer Alie memulai pendirian pondok pesantren dengan gerakan dakwah yang toleran di tiga sektor, yaitu; sektor keuangan, sektor keamanan dan sektor ke- ulamaan. Sektor keuangan beliau merekrut para saudagar kaya yang ada di Bekasi, salah satunya dari kalangan non muslim Tionghoa. Sikap KH. Noer Alie yang bersahabat dan anti kekerasan menarik hati etnis Tionghoa Bekasi untuk menyokong pergerakan dakwah beliau, bahkan beberapa kalangan menjadi keluarga muslim yang taat. Dari sektor keamanan KH. Noer Alie merangkul banyak jawara-jawara Betawi dan preman kampung, kemudian dalam bidang ke-ulamaan beliau mengumpulkan tokoh-tokoh agama dan merangkulnya sehingga KH. Noer Alie menjadi tokoh pioner, disegani dan dianggap sebagai sosok sentral dikalangan ulama Bekasi.[7] Sikap dakwah KH. Noer Alie ini dapat diteladani oleh para kader Rusydatul Ummah dengan bersikap luwes, meninggalkan kekerasan, tidak diskriminatif dan merangkul semua elemen masyarakat untuk sama sama mencapai tujuan dakwah. Sikap eksklusif dan merasa diri paling benar dan paling besar akan menyebabkan dakwah menjadi kerdil dan manfaat yang didapatpun menjadi minim.

Sejak mendirikan Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi, KH. Noer Alie telah menanamkan nilai-nilai wasathiyyah termasuk nilai-nilai toleransi dan anti kekerasan dalam berdakwah. Wasathiyah sendiri merupakan ciri ajaran Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, wasathiyyah bermakna keseimbangan antara ruh dan jasad, dunia  dan  akhirat,  agama  dan  negara, individu dan masyarakat dan seterusnya, Wasathiyyah adalah menjauhkan diri dari sikap liberal namun juga memelihara diri agar terhindar dari sikap yang keras dan sekuler[8]. Hal ini dapat dilihat dari model dakwah KH. Noer Alie yang membina masyarakat yang tidak seluruhnya beragama Islam, tidak seluruhnya orang-orang dari kalangan mampu, tidak seluruhnya orang-orang yang berpendidikan, tidak seluruhnya orang-orang yang mengerti tentang ilmu agama, tidak seluruhnya orang- orang yang paham dengan pendidikan agama maupun sosial, bahkan KH. Noer Alie memiliki beberapa kawan karib yang berasal dari suku Thionghoa.[9]

Dalam disertasi yang disusun Dr. KH. Khalilullah Ahmas, M.Pd mengutip pendapat Dr. KH. Zamakhsyari bahwa KH. Noer Alie adalah ulama, pejuang, pendakwah dan pendidik yang memiliki lima karakter :

  • Mutafaqqih fid diin

KH. Noer Alie dikenal luas sebagai ulama yang memiliki kapasitas dan kompetensi pemahaman agama yang dalam dan luas, sehingga menjadi rujukan permasalahan agama. KH. Noer Alie mendalami beragam ilmu seperti Fiqih, Tafsir, Qiraat, Tasawuf dan menguasai ilmu alat bahasa Arab.

(2) Munadzdzim (organisatoris)

KH. Noer Alie merupakan organisator, aktifis dan politikus. Beliau salah seorang pengurus partai politik Masyumi, Pengurus Majelis Ulama Jawa Barat dan ketua BKSPP (Badan Kerja Sama Pondok Pesantren) Jawa Barat.

(3) Muharrik /Dinamisator.

KH. Noer Alie memiliki kemampuan luar biasa untuk menggerakkan massa. Hal ini dibuktikan sejak beliau memimpin gerakan perjuangan melawan penjajah hingga pembangunan Pondok Pesantren. Bahkan KH. Noer Alie mengerahkan dukungan untuk membuat akses jalan antara kampung Ujung malang, Pondok ungu dan Teluk Pucung pada tahun 1941 dan 1972.

(4) Mura’ie / pengayom

KH. Noer Alie juga dikenal sebagai sosok ulama pengayom, sederhana, tawadhu’, tidak membedakan orang berdasarkan kedudukannya, ramah dan senantiasa bersikap moderat. Semua kalangan masyarakat merasa nyaman dan aman, bahkan masyarakat dan alumni berbondong-bondong untuk membuka cabang Attaqwa di kampungnya masing-masing bergabung Bersama Yayasan Attaqwa Pusat.

(4) Mumsik / pengendali

KH. Noer Alie merupakan sosok pemimpin yang mampu memimpin secara terarah dan efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Selain itu, KH. Noer Alie juga sosok pemimpin yang berhasil mengkader generasi selanjutnya sehingga sampai hari ini proses regenerasi di Attaqwa berjalan dengan sangat baik.

(5) Mujaddid (pembaharu) KH.Noer Alie juga dikenal sebagai tokoh ulama pembaharu. Dalam gerakan dakwah yang digagas, beliau melakukan berbagai inovasi dan perubahan progressif yang positif. Uslub dakwah yang dipraktekkan oleh KH. Noer Alie bersifat kontekstual dan kontemporer, dengan banyak memperhatikan issu issu kekinian.[10]


[1] A.M. Fatwa, Pahlawan Nasional KH. Noer Alie (Ulama Pejuang dari Tanah Betawi),Cet.1, h. 23-73

[2] A.M. Fatwa, Pahlawan Nasional KH. Noer Alie (Ulama Pejuang dari Tanah Betawi)

[3] Wawancara Hj. Atiqoh Noer Alie, 10 Desember 2024, dikediaman beliau, Pondok Pesantren Attaqwa Putri

[4] Ade Naelul Huda dkk, Resepsi Moderasi Beragama Pada Masyarakat Pesantren (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi) dalam Jurnal Misykat: Jurnal Ilmu Al-quran Hadits dan Tarbiyah, Vol. 8. No.2. hal 200-2010

[5] Ade Naelul Huda dkk, Resepsi Moderasi Beragama Pada Masyarakat Pesantren (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi) dalam Jurnal Misykat: Jurnal Ilmu Al-quran Hadits dan Tarbiyah, Vol. 8. No.2. hal 200-2010

[6] Ade Naelul Huda dan M. Azizan Fitriana, Resepsi Terhadap Konsep Pemaafan Dalam Al-Quran: Sebuah Kajian Living Quran, dalam dalam Jurnal Misykat: Jurnal Ilmu Al-quran Hadits dan Tarbiyah, 5, 2. Hal 134

[7] Ade Naelul Huda dkk, Resepsi Moderasi Beragama Pada Masyarakat Pesantren (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi) dalam Jurnal Misykat: Jurnal Ilmu Al-quran Hadits dan Tarbiyah, Vol. 8. No.2. hal 200-2010

[8] Faridah Fransiska dan Ade Naelul Huda, Moderasi Beragama (Wasathiyyah) Perspektif Al-Qur’an: Studi Analisis Tafsir Al-Misbah Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia Modern, dalam Jurnal Miftahul Ulum; Jurnal Pendidikan dan Ekonomi, Vol 2, No. 2. Hal 1-14

[9] Diceritakan oleh Dr. KH. Abid Marzuki dalam Pembekalan KKN STAI Attaqwa Bekasi tahun 2021 di Institut Attaqwa KH. Noer Alie Bekasi.

[10] Khalilullah Ahmas, KH. Noer Alie Tokoh Ulama Multi Dimensi Serta Kiprahnya Pada Masyarakat, Jurnal Disertasi Universitas Islam As-Syafiiyah. H. 7

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *